Saturday, July 11, 2009

Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik?

Kategori : Politik
________________________


Soal :


Apakah dengan kita tidak berpartisipasi dalam pemilu atau tidak mendukung partai politik (partai berlabel Islam) sama saja kita membiarkan partai atau orang-orang sekuler mengatur dan memimpin negara ini, yang tentunya menyebabkan mereka menerapkan undang-undang sekuler dan menolak dengan tegas syariat Islam?
Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap, yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam. Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?

Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?

Jawab :


Ketidakikutsertaan kita ke parpol berlabel Islam tidak berarti kita membiarkan parpol yang tidak berlabel Islam untuk menetapkan undang-undang sekuler karena pintu nasehat terbuka dengan banyak cara, bisa dengan bicara langsung dengan mereka (pemerintah), melalui surat atau cara lain yang sesuai dengan Islam (Lihat Asy Syariah edisi lalu tentang Cara Menasehati Penguasa).

Bukankah orang-orang yang duduk di pemerintahan kebanyakan orang-orang Islam?
Seandainya parpol berlabel Islam ikut di parlemen apakah mereka dapat merubah sistem demokrasi yang bertolak belakang 180 derajat dengan Islam? Tentu tidak.

Sehingga masuknya mereka tidak akan merubah sistem tapi justru merubah diri mereka dari orang yang taat menjadi orang yang bermaksiat. Karena sejak mereka masuk (ke dalam parlemen) sudah diambil sumpahnya untuk mengakui sistem yanga ada dan (mengakui) keberadaan partai-partai lain selain Islam. Dan ini awal kekalahan, ditambah maksiat-maksiat lain yang tidak bisa dihindari.

Apakah memperbaiki kedaan itu dengan cara bermaksiat kepada Allah atau dengan taat kepadanya?

Cara memperbaiki yang benar adalah dengan tashfiyah dan tarbiyah, membersihkan Islam dari segala kotoran dan mendidik umat di atas Islam yang murni.

Ingat ucapan Al-Imam Malik:
“Umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang (telah) memperbaiki generasi awal (umat ini).”


- Alasan bahwa dengan masuk parlemen akan bisa mengubah sisitem yang ada tak lebih sekedar dalih untuk membolehkan masuk dalam parlemen, karena sesungguhnya merubah sistem yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Apa yang bisa mereka rubah? Kalau misalnya bisa sebagian, berapa persen besarnya?

Dan apakah mereka benar-benar bisa merubah sistem ini? Tolong dijawab secara realistis dan jangan dengan khayalan. Yang jelas sistem ini (demokrasi) adalah bathil sejak awalnya.

- Bila alasan darurat yang dipakai maka merupakan alasan yang terlalu jauh. Bagaimana kita masuk ke dalam sistem yang bertolak belakang dengan Islam lalu beralasan dengan darurat? Mana penerapan syariat Islam yang menjadi syiar pergerakan? Bagaimana mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dan memperjuangkannya sedang belum apa-apa sudah melanggar syariat Islam yang agung.

Coba renungkan!
Wallahu a’lam.

_______________________
(Arshavin menukil dari http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=766 )

Friday, July 10, 2009

Benarkah Imam Asy-Syafi'i Mengambil Berkah Di Makam Imam Hanafi?

Kategori : Tawassul
_______________




KEDUSTAAN KISAH TABARRUK IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP MAKAM IMAM ABU HANIFAH

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada pembimbing yang mulia Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti Sunnahnya dengan baik.

Saudaraku kaum muslimin…..
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (semoga Allah senantiasa merahmati beliau) tidak diragukan lagi adalah salah seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau adalah salah seorang pewaris Nabi. Para penentang dakwah Ahlussunnah banyak yang menukil ucapan atau perbuatan beliau. Namun sayangnya, nukilan tentang beliau juga tidak sedikit yang berdasarkan riwayat yang lemah bahkan palsu.

Salah satu kisah yang hampir selalu ada bersamaan dengan syubhat tentang tawassul dan tabarruk adalah kisah tabarruknya Imam Asy-Syafi’i di kuburan Abu Hanifah. Di dalam salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah terdapat tulisan berjudul ‘Tawassul / Istighatsah (1); Sebuah Pengantar’ di sana disebutkan kisah tersebut.

Tulisan ini akan membahas secara ilmiah sisi kelemahan riwayat kisah tersebut disertai bukti pertentangannya dengan keyakinan Imam Asy-Syafi’i, maupun Abu Hanifah dan pengikut madzhabnya sendiri terkait hal-hal yang dibenci dilakukan terhadap kuburan, disertai dengan dalil hadits Nabi yang melarang perbuatan pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hidayahNya kepada kita semua….

(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)

Syubhat :

[[

Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)

]]

Bantahan :

Mengenai sanad riwayat tersebut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany menyatakan: “ Ini adalah riwayat yang lemah bahkan batil. Karena sesungguhnya perawi yang bernama Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidaklah dikenal. Tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tentang perawi. Bisa jadi yang dimaksud adalah ‘Amr (dengan fathah pada ‘ain) bin Ishaq bin Ibrohim bin Humaid bin as-Sakn Abu Muhammad at-Tuunisi. Al-Khotib (al-Baghdady) menyebutkan biografinya dan menyatakan bahwa ia adalah Bukhary (berasal dari Bukhara) datang ke Baghdad dalam rangka menunaikan haji pada tahun 341 H. Tetapi (al-Khotib) tidaklah menyebutkan jarh(celaan), tidak pula ta’diil (pujian) sehingga dalam kondisi ini ia adalah majhuulul haal (keadaanya tidak dikenal).



(Tetapi) kemungkinan (bahwa ia adalah ‘Amr) jauh, karena tahun kematian syaikhnya : Ali bin Maymun pada tahun 247 H menurut kebanyakan pendapat. Sehingga jarak kematian antara keduanya adalah sekitar 100 tahun, sehingga jauhlah kemungkinan bahwa keduanya pernah bertemu” ( Lihat Silsilah al-Ahaadits Adh-Dhaifah juz 1 halaman 99).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam Iqtidho’ Shirothol Mustaqiim halaman 165:

وهذا كذلك معلوم كذبه بالاضطرار عند من له معرفة بالنقل ، فإن الشافعي لما قدم بغداد لم يكن ببغداد قبر ينتاب للدعاء عنده البتة ، بل ولم يكن هذا على عهد الشافعي معروفا ، وقد رأى الشافعي بالحجاز واليمن والشام والعراق ومصر من قبور الأنبياء والصحابة والتابعين ، من كان أصحابها عنده وعند المسلمين أفضل من أبي حنيفة وأمثاله من العلماء . فما باله لم يتوخ الدعاء إلا عنده . ثم أصحاب أبي حنيفة الذين أدركوه مثل أبي يوسف ومحمد وزفر والحسن بن زياد وطبقتهم ، ولم يكونوا يتحرون الدعاء لا عند أبي حنيفة ولا غيره .
ثم قد تقدم عند الشافعي ما هو ثابت في كتابه من كراهة تعظيم قبور المخلوقين خشية الفتنة بها ، وإنما يضع مثل هذه الحكايات من يقل علمه ودينه .

“ yang demikian ini telah dimaklumi kedustaannya secara idlthirar bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang penukilan. Karena sesungguhnya As-Syafi’i ketika datang ke Baghdad tidak ada di Baghdad kuburan yang sering dikunjungi (khusus) untuk berdoa di sisinya sama sekali. Bahkan tidak pernah dikenal yang demikian di masa Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang terdekatnya yang sebenarnya menurut beliau dan menurut kaum muslimin lebih mulia dari Abu Hanifah dan semisalnya dari kalangan para Ulama’. Maka mengapa beliau tidak menyengaja datang kecuali ke sana (kubur Abu Hanifah). Kemudian, para Sahabat Abu Hanifah sendiri yang sempat mendapati kehidupan Abu Hanifah semisal Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, al-Hasan bin Ziyaad dan yang sepantaran dengan mereka. Mereka tidak ada yang menyengaja berdoa di sisi kuburan, baik kuburan Abu Hanifah ataupun yang lainnya. Kemudian, telah berlalu penjelasan dari Asy-Syafi’i hal yang telah disebutkan dalam kitab beliau tentang dibencinya pengagungan terhadap kubur para makhluq karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Sesungguhnya hikayat yang semacam ini diletakkan oleh orang yang sedikit ilmu dan (pemahaman) Diennya”.


Memang benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- bahwa salah satu bukti jelas kedustaan kisah tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya tentang dibencinya pengagungan terhadap kuburan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sendiri :

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“ dan aku benci makhluq diagungkan sampai kuburannya dijadikan sebagai masjid, (karena) dikhawatirkan adanya fitnah untuk dirinya dan untuk orang-orang setelahnya” (lihat al-Majmu’ karya Imam AnNawawi juz 5 halaman 314, al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i sendiri juz 1 halaman 317).


Benar pula perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa di masa hidup Imam Asy-Syafi’i tidak ada kuburan yang dibangun dan disediakan tempat yang memungkinkan untuk berdoa khusus di sisinya. Hal ini karena memang para pemerintah muslim pada waktu itu memerintahkan untuk menghancurkan bangunan-bangunan pada kuburan, dan sikap pemerintah muslim tersebut tidak dicela oleh para fuqaha’ (ahli fiqh) pada waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Asy-Syafi’i:


وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك

“ dan aku telah melihat para waliyyul amri (pemimpin muslim) di Mekkah yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan. Aku tidak melihat para Fuqoha’ (Ulama’ ahli fiqh) mencela hal itu” (Lihat kitab al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i juz 1 halaman 316, al-Majmu’ karya Imam AnNawawy juz 5 halaman 298).


Sikap para pemimpin muslim yang menghancurkan bangunan-bangunan yang dibangun di atas kuburan tersebut memang sesuai dengan hadits Nabi:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“ dari Jabir beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan di’lepa’ (semen/kapur), diduduki di atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya”(H.R Muslim)



عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ


“ dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali (bin Abi Tholib) berkata kepadaku: Maukah kau aku utus sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku? Janganlah engkau tinggalkan patung/gambar bernyawa kecuali engkau hapus dan jangan tinggalkan kuburan yang diagungkan kecuali diratakan” (H.R Muslim)

Sedikit faidah yang bisa diambil, ketika mensyarah hadits ini Imam An-Nawawy menyatakan: ‘di dalamnya terdapat perintah mengganti/merubah gambar-gambar makhluk bernyawa’).

Perhatikan pula kalimat dalam kisah tersebut:

Bahwa Asy-Syafi’i mendatangi kuburan Abu Hanifah setiap hari. Ya, disebutkan dalam kisah itu ‘setiap hari’. Bagi orang yang berakal, dan paham tentang perjalanan hidup Asy-Syafi’i jelas akan melihat sisi lain dari kedustaan kisah tersebut. Al-Imam Asy-Syafi’i banyak melakukan perjalanan menuntut ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain.

(Coba kita perhatikan...)

Beliau dilahirkan di daerah Gaza (Syam) dan tumbuh besar di tanah suci Mekkah (sebagaimana dijelaskan Adz-Dzahaby dan al-Imam AnNawawi dalam Tahdzib Asma’ Wal Lughot (1/49)). Beliau mempelajari fiqh awalnya di Mekkah dari Muslim bin Kholid Az-Zanji dan Imam-imam Mekkah yang lain seperti Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin ‘Iyaadl. Kemudian beliau pindah ke Madinah menuntut ilmu pada Imam Maalik.

Selanjutnya beliau pindah ke Yaman untuk berguru pada Muthorrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf al-Qodhy, dan beberapa ulama’ lain. Dari Yaman beliau menuju Iraq (Baghdad) untuk bermulaazamah (fokus menuntut ilmu) pada ahli fiqh Iraq yaitu Muhammad bin al-Hasan.

Beliau mengambil ilmu juga pada Isma’il bin ‘Ulyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqofy, dan beberapa Ulama’ yang lain. Setelah beberapa lama di Iraq, beliau kemudian pindah ke Mesir, dan di Mesir inilah pendapat-pendapat baru (qoul qodiim) Imam Asy-Syafi’i sering dijadikan rujukan (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ pada bagian yang mengisahkan biografi Imam Asy-Syafi’i).


Perhatikanlah, demikian sibuk Imam Asy-Syafi’i dengan menuntut ilmu dari satu Syaikh (guru) ke syaikh yang lain. Beliau juga menempuh perjalanan lintas negeri. Bagaimana mungkin setiap hari beliau berdoa di makam Abu Hanifah?

Bagaimana mungkin –jika memang berdoa di sisi makam dengan tawassul pada penghuni kuburan tersebut diperbolehkan menurut beliau- dikhususkan pada makam Abu Hanifah, padahal salah satu tempat menuntut ilmu beliau adalah Madinah, tempat dimakamkannya manusia terbaik, Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.


Negeri-negeri lain yang beliau singgahi banyak kuburan para Nabi, para Sahabat Nabi, tabi’in dan orang-orang yang jauh lebih utama dari Abu Hanifah, maka mengapa beliau mengkhususkan pada kuburan Abu Hanifah? Padahal beliau tidaklah pernah mengambil ilmu langsung dari Abu Hanifah. Bagaimana bisa mengambil ilmu, jika tahun kematian Abu Hanifah bertepatan dengan tahun kelahiran beliau?


Selanjutnya, akan disebutkan penjelasan dari Ulama’ lain bahwa kisah tersebut memang dusta. Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan : “ hikayat yang dinukilkan dari Asy-Syafi’i bahwa beliau memaksudkan doa di sisi kuburan Abu Hanifah adalah kedustaan yang jelas” (Lihat Ighatsatul Lahafaan (1/246)).



Sebenarnya bagi orang yang mengerti kadar keilmuan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, cukuplah hal itu sebagai penjelas. Kami akan nukilkan ucapan ahlut tafsir Ibnu Katsir tentang guru sekaligus sahabatnya tersebut, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah agar orang-orang yang meremehkannya menjadi sadar (InsyaAllah suatu saat akan dikaji penjelasan tentang beliau khusus sebagai bantahan bagi orang-orang yang membencinya).


Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan tentang beliau :

ولد في سنة إحدى وتسعين وستمائة وسمع الحديث واشتغل بالعلم وبرع في علوم متعددة لا سيما علم التفسير والحديث والأصلين ولما عاد الشيخ تقي الدين ابن تيمية من الديار المصرية في سنة ثنتي عشرة وسبعمائة لازمه إلى أن مات الشيخ فأخذ عنه علماً جما مع ما سلف له من الاشتغال فصار فريداً في بابه في فنون كثيرة مع كثرة الطلب ليلاً ونهاراً وكثرة الابتهال وكان حسن القراءة والخلق كثير التودد لا يحسد أحداً ولا يؤذيه ولا يستعيبه ولا يحقد على أحد وكنت من أصحب الناس له وأحب الناس إليه ولا أعرف في هذا العالم في زماننا أكثر عبادة منه وكانت له طريقة في الصلاة يطيلها جداً ويمد ركوعها وسجودها

“beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Banyak mendengar hadits, sibuk dengan ilmu, mahir dalam ilmu yang bermacam-macam khususnya ilmu tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu Ushul. Dan ketika Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, beliau bermulazamah (memfokuskan diri untuk belajar pada Ibnu Taimiyyah), sampai meninggalnya Syaikh (Ibnu Taimiyyah), maka beliau mengambil darinya ilmu yang banyak, bersamaan dengan kesibukan beliau sebelumnya, sehingga jadilah beliau orang yang istimewa dalam beberapa bidang yang banyak.

Bersamaan dengan banyaknya kesibukan beliau menuntut ilmu siang malam, banyak beribadah, dan beliau baik bacaan (Quran)nya, baik akhlaqnya, memiliki sifat penyayang, tidak pernah dengki pada siapapun, tidak pernah menyakiti siapapun, tidak pernah mencari aib orang lain, tidak pernah dendam pada seorangpun, dan saya termasuk sahabat terdekatnya, dan manusia yang paling dicintainya, dan saya tidak mengetahui di zaman kami ada orang yang lebih banyak ibadahnya dibandingkan beliau. Beliau jika sholat (sunnah) sangat lama, memanjangkan waktu ruku’ dan sujudnya”

(Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah juz 14 halaman 270).

Simaklah persaksian Ibnu Katsir tentang keilmuan dan akhlaq Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Jika Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa hikayat itu dusta, tidaklah penilaian beliau itu bersifat tendensius karena membenci kelompok tertentu sehingga kemudian tidak obyektif. Beliau bukanlah orang yang berakhlak buruk, suka dendam dan mencari aib orang lain. Beliau menilai kedustaan tersebut atas dasar keilmuan beliau.

Hal lain yang menunjukkan sisi kelemahan kisah itu –sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- adalah tidak adanya Sahabat/ murid dekat Abu Hanifah yang melakukan hal itu. Tidak ada di antara mereka yang sering datang ke kuburan Abu Hanifah untuk berdoa dan bertawassul agar doanya lebih mudah dikabulkan. Bagaimana tidak, jika perbuatan semacam itu dibenci oleh Abu Hanifah. Beliau tidak suka jika makhluk dijadikan perantara dalam doa seorang hamba kepada Allah. Al-Imam Abu Hanifah berkata:

لا ينبغي لاحد أن يدعو الله إلا به ، والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ، ما استفيد من قوله تعالى : { ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون{

“ tidak sepantasnya bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali denganNya, dan doa yang diijinkan dan diperintahkan adalah apa yang bisa diambil faidah dari firman Allah: ‘Hanya milik Allah asmaa-ul husna,, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan’ (Lihat Ad-Durrul Mukhtaar min Haasyiyatil Mukhtaar(6/396-397)).

يكره أن يقول الداعي : أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام

“ adalah suatu hal yang dibenci jika seorang berdoa:’ aku memohon kepadaMu dengan hak Fulaan, atau dengan hak para Nabi dan RasulMu dan hak Baitul Haram, dan Masy-‘aril Haraam “ (Lihat Syarh Fiqhil Akbar lil Qoori halaman 189).
Kalau kita melihat sikap para Ulama’ Salaf, justru mereka mengingkari perbuatan orang yang berdoa di sisi makam untuk bertawassul. Kita ambil satu contoh yang dilakukan oleh ‘Ali bin Husain yang merupakan cucu Sahabat Nabi ‘Ali bin Abi Tholib.

Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushannafnya dan juga Ibnu Abi Syaibah :
عن علي بن الحسين أنه رأى رجلا يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو فقال ألا أحدثك بحديث سمعته من أبي عن جدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (لا تتخذوا قبري عيدا ولا بيوتكم قبورا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم(

“ dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: ‘Maukah anda aku sampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ‘Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan.

Dan bersholawatlah kepadaku karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’ (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya(2/268), dan Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya juz 3 halaman 577 hadits nomor 6726).

Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hafidz As-Sakhowy (murid Ibnu Hajar al-‘Asqolaany). Silakan dilihat pada kitab al-Qoulul Badi’ fis Sholaati ‘ala habiibisy Syafii’ halaman 228)

Demikianlah saudaraku kaum muslimin, sedikit penjelasan tentang kedustaan kisah tabarruk Imam Asy-Syafi’i di makam Imam Abu Hanifah. Perlu dipahami, bahwa jika kita menyatakan secara ilmiah bahwa kisah itu dusta bukan berarti kita menuduh al-Khotib al-Baghdady sebagai pendusta. Beliau sekedar menyebutkan riwayat.

Dalam penyebutan riwayat, beliau mendapat khabar tersebut dari orang yang menyampaikan kepadanya, orang yang menyampaikan kepada beliau mengaku mendapat khabar dari orang yang di ‘atas’nya dan seterusnya. Telah dijelaskan di atas bahwa pada rantaian perawi kisah tersebut terdapat orang yang majhul (tidak dikenal di kalangan para Ulama’ Ahlul Hadits yang ahli dalam meneliti periwayatan).

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kalimat-kalimat indah yang disampaikan oleh al-Imam Asy-Syafi’i sebagai pelajaran penting bagi kita semua. Beliau menyatakan kalimat-kalimat berikut ini:

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بها، ودعوا ما قلته

“ jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam maka berbicaralah dengan Sunnah itu dan tinggalkanlah ucapanku” (Lihat Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (9/106) dan Siyaar a’laamin Nubalaa’ karya Adz-Dzahaby juz 10 halaman 34).


متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا ولم آخذ به، فأشهدكم أن عقلي قد ذهب

“ Kapan saja aku meriwayatkan dari Rasulullah hadits shahih kemudian aku tidak berpegang (berpendapat) dengannya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah pergi” (Lihat Siyar a’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34).

كل ما قلته فكان من رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني

“ semua yang aku ucapkan, jika ada (khabar) yang shohih dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah taklid kepadaku”

(Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 10 halaman 34, al-Manaaqib karya Adz-Dzahaby (1/473)).


__________________

(Arshavin copied from http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1511
Penulis Asal: Abu Utsman Kharisman )Z

Monday, July 06, 2009

Syi'ah Imamiyah Iran,Siapakah Mereka?

Kenali Syiah Secara Ringkas
PENGENALAN RINGKAS SYI'AH IMAMIYYAH
__________________


Ajaran Syi'ah pada hakikatnya adalah merupakan ciptaan musuh-musuh Islam yang terdiri daripada Yahudi, Nasrani dan Majusi. Untuk kita mengetahui lebih lanjut lagi tentang kelahiran Syi'ah ini marilah kita merenung sejenak sejarah silam iaitu sejarah zaman Khalifah ketiga umat Islam iaitu Khalifah Uthman bin Affan r.a.

Zaman permulaan Islam iaitu pada zaman Khulafa ur-Rasyidin, Islam begitu kuat sehingga tidak mampu diganggu gugat oleh musuh secara berdepan. Sehingga dua kuasa besar pada ketika itupun iaitu kerajaan Rom dan Farsi pun terpaksa tunduk kepada kekuasaan kerajaan Islam. Kerana itu kita melihat pada zaman Sayyidina Umar r.a. lagi sudah nampak pakatan musuh Islam untuk menghancurkan kekuasaan Islam ketika itu dan antara perancangan yang dilakukan mereka adalah dengan membunuh khalifah Umar r.a.

Seterusnya pada zaman Sayyidina Uthman r.a. musuh-musuh Islam ini masih lagi tidak mampu untuk menghadapi umat Islam secara berdepan maka mereka telah membuat perancangan untuk menghancurkan Islam dari dalam, maka hasil dari perancangan tersebut muncul lah seorang yang bernama Ibnu Saba’ yang berpura-pura memeluk Islam tetapi sebenarnya adalah bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Taktik yang digunakan oleh Ibnu Saba' adalah dengan memecah-belahkan kesatuan umat Islam dengan cara menyebarkan ajaran yang bukan berasal dari Islam tapi atas nama Islam.

Ajaran Ibnu Saba’ yang kemudiannya diterima oleh golongan Syi'ah sebenarnya adalah berasal dari Yahudi, Nasrani serta Majusi. Di zaman Sayyidina Uthman r.a. Ibnu Saba’ telah berjaya menaburkan racunnya kepada golongan-golongan yang baru memeluk agama Islam, tidak kuat keislamannya serta berada jauh dari kalangan sahabat-sahabat r.a.

Namun begitu golongan Syi'ah cuba untuk menafikan kewujudan Ibnu Saba’ ini dan mereka mengatakan ianya adalah manusia khayalan yang direka-reka kewujudannya oleh golongan yang memusuhi Syi'ah. Tetapi jika diperhatikan kepada kitab-kitab sejarah samaada dari kalangan Ahlus Sunnah mahupun Syi'ah maka kewujudan Ibnu Saba’ ini tidak dapt dinafikan lagi.

Umpamanya di dalam kitab rijal yang paling utama di sisi Syi'ah iaitu Ikhtiyaru Ma'rifatir Rijal yang lebih dikenali dengan Rijal Kasyi pengarangnya Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Bin Ali At-Thusi telah menukilkan riwayat daripada Imam Ja'far As-Sadiq yang berbunyi:

عن ابن سنان، قال، قال أبوعبدالله عليه السلام: انا أهل بيت صادقون، لانخلو من كذاب يكذب علينا، فيسقط صدقنا بكذبه علينا عند الناس، كان رسول الله صلى الله عليه وآله أصدق البرية لهجة، وكان مسيلمة يكذب عليه. وكان أمير المؤمنين عليه السلام أصدق من برأ الله من بعد رسول الله صلى الله عليه وآله، وكان الذي يكذب عليه ويعمل في تكذيب صدقه بما يفتري عليه من الكذب عبدالله بن سبا لعنه الله

Daripada Ibnu Sinan katanya, Abu Abdillah a.s. berkata, "Sesungguhnya kami Ahlul Bait adalah orang-orang yang benar, kami tidak sunyi daripada pendusta-pendusta yang berdusta atas nama kami lalu gugurlah kebenaran kami di sisi manusia disebabkan oleh pendustaan yang dilakukan atas nama kami. Nabi s.a.w. adalah orang yang paling benar ucapannya dan Musailamah telah berdusta atas namanya. Amirul mukminin (Ali) a.s. adalah orang yang paling benar diciptakan oleh Allah selepas Rasulullah s.a.w. dan orang yang berdusta atas namanya serta berusaha dalam mendustakan kebenarannya dengan mengadakan dusta atas nama beliau adalah Abdullah bin Saba' semoga Allah melaknatnya". (Rijal Kasyi juz 4 hal 305)
Di antara tokoh-tokoh Syi'ah yang lain yang menyebutkan perkara sama ialah an-Naubakhti dalam “Firaq asy-Syi'ah” (hal: 43-44), al-Hulli dalam “Kitab al-Rijal” (hal: 469), Mamaqami seorang tokoh ulamak mutaakhir Syi'ah tentang Rijal dalam kitabnya “Tanqihu al-Maqal” Jilid 2 hal: 184), al-Ustarabadi dalam kitab “Manhaju al-Maqal” (hal: 203), Ibnu Abi al-Hadid dalam “Syarah Nahju al-Balaghah” (Jilid 2 hal: 309), Syeikh Abbas al-Qummi dalam kitabnya “Tuhfatu al-Ahbab” (hal: 184) dan lain-lain.
Begitu juga di kalangan tokoh-tokoh ahli Sunnah yang menyebutkan berkenaan ajaran Ibnu Saba’ ini dan peranannya dalam memecahbelahkan umat Islam ialah Abu Hasan al-Asyaari dalam “Maqalat al-Islamiyin” (Jilid 1 hal:50), Abdul Qahir al-Baghdadi dalam “al-Farqu Baina al-Firaq” (hal: 233-235), al-Isfiraini dalam “at-Tabsir fi ad-Din” (hal: 108-109), Syahrastani dalam “al-Milal wa an-Nihal” (Jilid 2 hal: 11), at-Tabari dalam “Tarikh al-Umam wa al-Muluk” (Jilid 5 hal 90), Ibnu Kathir dalam “al-Bidayah wa an-Nihayah” (Jilid 7 Hal: 167), Hafiz Ibnu Hajar dalam “Lisan al-Mizan” (Jilid 3 hal: 289), Yaqut Al-Hamawi dalam Mu'jamul Buldan (Jilid 2 hal. 306) dan lain-lain.
Antara ajaran Syi'ah yang bertentangan dengan Islam.

1. Aqidah al-Imamah dan al-Walayah
Iaitu kepercayaan bahawa Imam-Imam Dua Belas itu dilantik berdasarkan nas dari pihak Allah dan mereka adalah maksum terpelihara dari dosa kecil dan besar serta dari lupa dan lalai.
Kepercayaan ini begitu penting di dalam ajaran Syi’ah, sehingga ia merupakan salah satu syarat keimanan dan dianggap terpenting dari antara rukun-rukun Islam yang lain. Setiap Nabi yang datang telah mengakui keimaman dan walayah Ali dan seseorang yang tidak mengenal Imam-Imamnya dianggap tidak mengenal Allah. Kepercayaan ini terdapat dalam mana-mana kitab Syi'ah terutamanya kitab al-Kafi. Antaranya:
عن فضيل بن يسار، عن أبي جعفر عليه السلام قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركواهذه يعني الولاية.
Al-Kulaini meriwayatkan dari Fudhail dari Abi Jaafar a.s. Kata beliau: “Islam ditegakkan di atas lima perkara; sembahyang, zakat, puasa, haji dan walayah. Tidak ada satu pun daripada rukun-rukun yang tersebut yang diseru sebagaimana seruan yang diberikan kepada al-Walayah. Lalu manusia mengambil keempat-empatnya dan meninggalkan yang ini, iaitu walayah.” (al-Usul Min al-Kafi – jilid 2 halaman 20)
Khomeini juga menyebutkan berkenaan dengan kepercayaan kepada imam-imam ini yang antaranya berbunyi:

ان للامام مقاما محمودا لا يبلغه ملك مقرب ولا نبى مرسل.
Bermaksud: "Sesungguhnya imam itu mempunyai kedudukan yang terpuji yang tidak sampai kepadanya malaikat yang hampir kepada Allah dan nabi lagi rasul". (al-Hukumah al-Islamiah – hal 52)

2. Aqidah Takfir as-Sahabah (Aqidah Mengkafirkan Sahabat)

Iaitu akidah tentang majoriti para sahabat telah murtad yang tidak tersembunyi kepada sesiapa sahaja yang pernah membaca kitab-kitab Syi’ah, sehingga bolehlah dikatakan tidak ada sebuah kitab Syi’ah yang muktabar terutamanya yang ditulis oleh ulamak-ulamak mereka yang lalu melainkan pasti tersebut di dalamnya riwayat-riwayat yang mengkafirkan atau memurtadkan para sahabat atau melaknat, memaki hamun dan melakukan tabarri (tabarra – yakni menyatakan sikap berlepas diri dan tidak mempunyai hubungan kasih sayang) terhadap mereka. Tidak terlepas daripada tuduhan-tuduhan mereka sahabat-sahabat besar Rasullullah s.a.w sekalipun seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Uthman, Abdul Rahman bin ‘Auf, isteri-isteri Rasullullah s.a.w dan lain-lain.

Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Jaafar a.s. kata beliau: “Para sahabat telah menjadi murtad sepeninggalan Rasullullah s.a.w kecuali tiga orang dari mereka.” Aku bertanya (kata perawi): “Siapakah yang tiga itu?” Abu Jaafar menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Zar al-Ghifari dan Salman al- Farisi.”(ar-Raudhah Min al-Kafi – jilid 8 hal 245)

Bahkan mereka mengatakan bahawa imam Ja'far As-Sadiq mejadikan laknat beberapa orang sahabat sebagai wirid selepas sembahyangnya sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Kulaini:

عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ ثُوَيْرٍ وَ أَبِي سَلَمَةَ السَّرَّاجِ قَالَا سَمِعْنَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (ع) وَ هُوَ يَلْعَنُ فِي دُبُرِ كُلِّ مَكْتُوبَةٍ أَرْبَعَةً مِنَ الرِّجَالِ وَ أَرْبَعاً مِنَ النِّسَاءِ فُلَانٌ وَ فُلَانٌ وَ فُلَانٌ وَ مُعَاوِيَةُ وَ يُسَمِّيهِمْ وَ فُلَانَةُ وَ فُلَانَةُ وَ هِنْدٌ وَ أُمُّ الْحَكَمِ أُخْتُ مُعَاوِيَةَ

Daripada Husain dan Abi Salamah katanya, "Kami mendengar Abu Abdillah a.s. melaknat selepas setiap sembahyang fardhu empat orang lelaki dan empat orang perempuan iaitu si-fulan,si-fulan,si-fulan dan Mu'awiyah serta ia menyebut nama mereka dan si-fulanah,si-fulanah, Hindun dan Ummul Hakam saudara perempuan Mu'awiyah. (Al-Kafi jilid 3 hal. 343)

Yang dimaksudkan dengan "si-fulan" di dalam kitab-kitab Syi'ah adalah yang pertama Abu Bakar r.a., kedua Umar r.a. dan ketiga Uthman r.a. sementara "si-fulanah" adalah yang pertama Aisyah r.a. dan kedua Hafsah r.a.

3. Aqidah ar-Raj’ah

Iaitu salah satu aqidah Syi’ah yang jelas bercanggah dengan ajaran Islam iaitu kepercayaan tentang akan dibangkitkan para Imam sebelum qiamat untuk menuntut bela atau menghukum orang-orang zalim yang telah merampas hak-hak mereka. Kepercayaan ini merupakan perkara yang telah diijmakkan oleh para ulamak Syi’ah. Antaranya Syeikh Mufid menyebutkan:
"واتفقت الإمامية على وجوب رجعة كثير من الأموات"
Bermaksud: “Golongan Imamiah sependapat tentang wajibnya raj’ah (kembali) sebahagian besar dari orang-orang mati ke dunia sebelum qiamat.”( Awaailu al-Maqaalat, halaman 52)

4. Tahrif al-Quran.

Iaitu kepercayaan bahawa al-Quran yang di tangan umat Islam kini sudah berlaku tokok tambah, pengurangan, penambahan dan penyelewengan padanya. Akidah ini juga merupakan satu akidah yang sangat penting di sisi Syiah sehingga ulamak-ulamak mereka menganggap ianya adalah merupakan dharuriat ajaran Syiah sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ulamak tafsir terkemuka Syiah Sayyid Hashim al-Bahrani di dalam kitabnya Tafsir al-Burhan di dalam Muqaddimah Fasal 4,halaman 49. Di antara ulamak Syiah yang mengakui berlakunya tahrif kepada al-Quran adalah Allamah Husain bin Muhammad Taqiy an-Nuuri at-Thabarsi bilamana beliau menukilkan kata-kata Sayyid Ni'matullah al-Jazaairi di dalam kitabnya Al-Anwar An-Nu'maniyyah yang berbunyi:

أن الأصحاب قد أطبقوا على صحة الأخبار المستفيضة بل المتواترة الدالة بصريحها على وقوع التحريف في القرآن
Bermaksud: "Sesungguhnya tokoh-tokoh Syi’ah telah sepakat tentang sahihnya hadits-hadits yang sampai ke peringkat mutawaatir yang menunjukkan dengan jelas tentang berlakunya penyelewengan terhadap al-Quran.” (Fashlul Khitab Fi Tahrif Kitabi Rabbil Arbab m.s. 31).

Kitab-kitab utama Syiah juga tidak sunyi daripada mengemukakan riwayat-riwayat daripada imam-imam maksum mereka berkenaan aqidah ini. Antaranya apa yang dikemukakan oleh al-Kulaini di dalam kitabnya yang berbunyi:

عن جابر قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: ما ادعى أحد من الناس أنه جمع القرآن كله كما أنزل إلا كذاب، وما جمعه وحفظه كما نزله الله تعالى إلا علي بن أبي طالب عليه السلام والائمة من بعده عليهم السلام

Bermaksud: Daripada Jabir katanya, aku mendengar Abu Ja'far a.s. berkata: "Tidaklah seseorang itu mendakwa bahawa ia telah mengumpulkan al-Quran kesemuanya sebagaimana diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, al-Quran tidak dihimpunkan dan dihafal sebagaimana diturunkan oleh Allah Taala kecuali Ali bin Abi Talib a.s. dan imam-imam selepasnya a.s."(Usul Al-Kafi jilid 1 ms. 228).

Dan banyak lagi riwayat-riwayat dari imam-imam maksum di sisi Syi'ah yang menyebutkan berkenaan penyelewengan al-Quran di dalam kitab-kitab utama mereka seperti Tafsir al-'Aiyyasyi, Tafsir al-Qummi, Bashaair ad-Darajat, Al-Anwar An-Nu'maniyyah dan lain-lain lagi.

5. Kahwin mut'ah iaitu kahwin kontrak.

Iaitu perzinaan di atas nama Islam. Satu bentuk perkahwinan yang tidak memerlukan tanggungjawab, nafkah, pusaka dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan perkahwinan yang berkekalan. Perkahwinan yang semata-mata berlandaskan nafsu dan untuk berseronok.

Al-Kulaini menukilkan satu riwayat berkenaan mut'ah daripada imam Muhammad al-Baqir:

، عن محمد بن مسلم، عن أبي جعفر (ع في المتعة قال: ليست من الاربع لانها لاتطلق ولاترث وإنما هي مستأجرة

Bermaksud: Daripada Muhammad bin Muslim daripada Abu Ja'far a.s. berkenaan mut'ah katanya, "Mereka-mereka itu (perempuan) bukan dari kalangan empat isteri kerana mereka tidak diceraikan dan tidak mewarisi. Mereka hanyalah perempuan sewaan". (Furu' al-Kafi jilid 5 hal. 284)

Dalam riwayat yang lain pula Kulaini menukilkan:

عن زرارة، عن أبي عبدالله قال: لا تكون متعة إلا بأمرين أجل مسمى وأجر مسمى
Bermaksud: Daripada Zurarah daripada Abu Abdillah a.s. katanya, "Tidak berlaku mut'ah kecuali dengan dua perkara iaitu tempoh yang ditentukan dan mahar yang ditentukan".(ibid hal. 286)

6. Taqiyyah.

Iaitu menyembunyikan sesuatu yang terdapat dalam hati dan menyatakan yang sebaliknya. Dalam ertikata yang mudah ianya adalah berbohong yang di atasnamakan Islam. Ajaran ini adalah merupakan ajaran yang sangat penting dalam ajaran Syi'ah sehingga sembilan persepuluh dari ajaran Syi'ah terletak pada taqiyyah (al-kafi j.2 hal 217) dan ia merupakan satu senjata yang sangat ampuh bagi ajaran ini.

Untuk menjelaskan hakikat taqiyyah ini Al-Kulaini mengemukakan satu riwayat yang berbunyi:
قال أبوعبدالله عليه السلام: يا معلى اكتم أمرنا ولاتذعه، فإنه من كتم أمرنا ولم يذعه أعزه الله به في الدنيا وجعله نورا بين عينيه في الآخرة، يقوده إلى الجنة، يا معلى من أذاع أمرنا ولم يكتمه أذله الله به في الدنيا ونزع النور من بين عينيه في الآخرة وجعله ظلمة تقوده إلى النار، يا معلى إن التقية من ديني ودين آبائي ولادين لمن لاتقية له

Abu Abdillah a.s. berkata: "Wahai Mu'alla! Sembunyikan urusan (agama) kami dan jangan nyatakannya, kerana sesungguhnya orang yang menyembunyikan agama kami dan tidak menyatakannya akan dimuliakan oleh Allah di dunia dan Allah akan menjadikannya sebagai cahaya di antara dua matanya di akhirat yang akan membawanya ke syurga. Wahai Mu'alla! Orang yang menyatakan agama kami dan tidak menyembunyikannya akan di hina oleh Allah di dunia dan Allah akan membuang cahaya di antara dua matanya di akhirat dan akan menjadikannya kegelapan yang mengheretnya ke neraka. Wahai Mu'alla! Sesungguhnya taqiyyah adalah agamaku dan agama datuk nenekku dan tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyyah".(Usul al-Kafi jilid 2 hal 225)
، عن مسعدة ابن صدقة، عن أبي عبدالله عليه السلام قال: ذكرت التقية يوما عند علي بن الحسين عليهما السلام فقال: والله لو علم أبوذر ما في قلب سلمان لقتله
Daripada Mas'adah daripada Abu Abdillah a.s. katanya, "Pada suatu hari disebutkan taqiyyah dekat Ali bin Al-Husain a.s. lalu dia berkata: "Demi Allah kalaulah Abu Zar mengetahui apa yang terdapat di dalam hati Salman tentu dia akan membunuh Salman". (Usul al-Kafi jilid 1 hal 402)

Dua riwayat ini pun sudah cukup untuk menjelaskan hakikat taqiyyah di dalam ajaran Syi'ah. Kerana senjata taqiyyah inilah ajaran Syi'ah dapat menyelinap masuk ke dalam tengah-tengah masyarakat Ahlus Sunnah dan seterusnya memperdaya mereka sehingga akhir sekali dalam keadaan tidak sedar golongan Ahlus Sunnah satu demi satu berjaya di Syi'ahkan dan boleh menerima segala ajaran-ajaran yang tidak masuk akal di dalam ajaran Syi'ah.

6. Pandangan Syi'ah terhadap Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Jika dilihat dalam kitab-kitab Syi'ah banyak sekali penghinaan yang diberikan mereka terhadap golongan Ahlus Sunnah. Di kesempatan ini kita akan kemukakan satu riwayat sahaja.

عَنِ ابْنِ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (ع) َ قَالَ لَا تَغْتَسِلْ مِنَ الْبِئْرِ الَّتِي تَجْتَمِعُ فِيهَا غُسَالَةُ الْحَمَّامِ فَإِنَّ فِيهَا غُسَالَةَ وَلَدِ الزِّنَا وَ هُوَ لَا يَطْهُرُ إِلَى سَبْعَةِ آبَاءٍ وَ فِيهَا غُسَالَةَ النَّاصِبِ وَ هُوَ شَرُّهُمَا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ خَلْقاً شَرّاً مِنَ الْكَلْبِ وَ إِنَّ النَّاصِبَ أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنَ الْكَلْبِ

Daripada Abi Ya'fur daripada Abu Abdillah a.s. katanya, "Jangan mandi dari telaga yang berhimpun padanya air mandian dari bilik mandi kerana padanya terdapat air mandian anak zina dan ia tidak akan bersih sehingga tujuh keturunan dan padanya juga terdapat air mandian 'nasibi' dan ia adalah yang paling buruk diantara keduanya. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih buruk dari anjing dan sesungguhnya orang 'nasibi' adalah lebih hina di sisi Allah daripada anjing". (Furu' al-Kafi jilid 3 hal. 5)

Nasibi adalah gelaran yang diberikan mereka kepada Ahlus Sunnah kerana nasibi bermakna orang yang memusuhi Ahlul Bait di sisi Syi'ah. Orang pertama yang memusuhi Ahlul Bait di sisi Syi'ah adalah Abu Bakar as-Siddiq r.a. serta sahabat-sahabat r.a. dan golongan seterusnya yang memusuhi Ahlul Bait di sisi Syi'ah adalah Ahlus Sunnah. Ini kerana Ahlus Sunnah tidak mempercayai serta menganggap Ahlul Bait sebagaimana pegangan mereka.

Hakikat sebenar ajaran Syi'ah.

Kalau diperhatikan kepada ajaran Syi'ah semua ajaran mereka dihubungkan kepada imam-imam Ahlul Bait. Persoalannya apakah benar ajaran mereka berasal dari imam-imam tersebut atau ianya hanyalah tempelan sahaja? Untuk mengetahui hakikat sebenarnya ajaran mereka marilah kita meneliti sejenak apa yang terkandung dalam kitab-kitab mereka sendiri daripada mulut imam-imam mereka sendiri.

أبوخالد الكابلي سمعت علي بن الحسين عليه السلام يقول: ان اليهود أحبوا عزيزا حتى قالوا فيه ماقالوا فلا عزيز منهم ولاهم من عزيز، وأن النصارى أحبوا عيسى حتى قالوا فيه ماقالوا، فلا عيسى منهم ولاهم من عيسى. وانا على سنة من ذلك ان قوما من شيعتنا سيحبونا حتى يقولوا فينا ماقالت اليهود في عزيز، وماقالت النصارى في عيسى بن مريم، فلاهم منا ولا نحن منهم.(رجال الكشى ج2 ص120)

Abu Khalid al-Kabuli berkata, "Aku mendengar Ali (Zainul Abidin) bin al-Husain a.s. berkata: "Sesungguhnya Yahudi mencintai 'Uzair sehingga mereka telah mengatakan sebagaimana yang mereka katakan terhadapnya sedangkan 'Uzair tiada hubungan dengan mereka dan mereka juga tiada hubungan dengan 'Uzair. Sesungguhnya Nasara mencintai Isa sehingga mereka telah mengatakan sebagaimana yang mereka katakan terhadapnya sedangkan Isa tiada hubungan dengan mereka dan mereka juga tiada hubungan dengan Isa. Sesungguhnya kami seperti mana mereka juga, sesungguhnya satu kaum dari kalangan Syi'ah kami mencintai kami sehingga mereka mengatakan berkenaan kami sebagaimana yang dikatakan oleh Yahudi kepada 'Uzair dan sebagaimana yang dikatakan oleh Nasara kepada Isa bin Maryam, mereka tiada hubungan dengan kami dan kami tiada hubungan dengan mereka". (Rijal Kasyi juz 2 hal 120).

قال أبوعبدالله عليه السلام ما أنزل الله سبحانه آية في المنافقين الا وهي فيمن ينتحل التشيع

Abu Abdillah a.s. berkata: "Tidaklah Allah menurunkan berkenaan munafikin kecuali ianya bertepatan dengan orang yang mendakwa Syi'ah". (Rijal Kasyi juz 2 hal. 589)

Demikianlah dengan serba ringkasnya dibentangkan aqidah-aqidah Syi’ah dari kitab-kitab muktabar mereka. Semoga keterangan-keterangan yang diberikan memberi manfa’at kepada kita semua dan semoga Allah sentiasa membimbing kita di jalan yang lurus Amin ya Rabbal 'Alamin.


_____________

(Arshavin menukil dari http://abunaaielah.blogspot.com )

Monday, March 30, 2009

Status Anak Zina

Penulis : Redaksi Asy-Syariah
Kategori : Problema Anda

_____________________

Soal:

Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari Perbuatan Zina”, sebagai berikut:

1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?

2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?

4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

(Fulanah di Solo)

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.

1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:

a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An-Nur: 3:

الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”

b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu.

Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar):
“’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):
“Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”

Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata
(32/111):

“Seorang wanita yang khulu’2 -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”

Syaikhul Islam (32/110) juga berkata:

“Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”

Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:

a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:

لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا

“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)

b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)


2. Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan.

Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).


Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri.

Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu yang muttafaq ‘alaih.


3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat:

“Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat.

Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut.

Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.


Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya6.

4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya.... Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”

Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ... فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))


Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187):

“Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”

Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?

Jawabannya:
Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.

_______________________


al-hawaamisy {nota kaki) :

1 ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

2 Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

3 Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya dirinya jika suaminya benar.

4 Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).

5 Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.


6 Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

-------------------

*(arshavin menukil dari www.asysyariah.com)

Wednesday, March 11, 2009

Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak) Bagian 2

Kategori : Syiah
****



Ali bin abi Thalib dan nikah mut'ah
___________



Apa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah imam syiah yang dianggap maksum. Anda akan mendapat informasi berharga.


Bagi syiah Ali adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.

Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.

Salah satu hal aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan : bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.

Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah. Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.

Demikian pula syiah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut syiah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya- bisa membayangkan betapa nikmatnya.

Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAWW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAWW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAWW? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam hasil karya At Thusi dengan sanadnya dari :

Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.

Bagaimana perawinya? Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]

Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits

Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits

Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.

Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.

Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut kebingungan karena dua hal:

Pertama,
Bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?

saya teringat ayat Al Qur'an, yang terjemahnya sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati, (QS. 2:159)

Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)

Kedua,
Ketika para ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.


Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:

“Syaikh [At Thusi] dan [ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”

Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?

Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu saja sabda imam bisa divonis taqiyah.

Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAWW padahal Nabi SAWW tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat,bukan pendapat Ali sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi SAWW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:


siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.

Hadits ini juga dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.

Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah hari ini.

Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. COntohnya syiah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syiah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib/

Saya ingatkan para pembaca tentang kenikmatan sorga beserta bidadari-bidadari yang menyambut penghuninya, beserta isteri-isteri sorga. Tentunya kenikmatan “jannah” lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:

Sesungguhnya penghuni jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)

Ayat di atas menceritakan penghuni sorga bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni sorga hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? 100% you get the answer...

________

( arshavin menukil dari http://hakekat.com/content/view/46/1/ dengan sedikit pengeditan )

Thursday, February 26, 2009

Sengketa tanah fadak,Akhirnya Fatimah Memaafkan Abubakar

Kategori: Syiah

____________________


Baru2 ini,aku baru saja menghabiskan membaca buku yang di tulis oleh seorang yang 'mengaku' sebagai penulis ilmiah.Kemudian setelah habis membacanya,baru aku mengetahui siapa sebenarnya 'wajah sebenar' si penulis itu.Ternyata dia adalah seorang SYI'AH YANG SANGAT FANATIK -meminjam istilah yang digunakan penulis ini sewaktu ia menyebut nama Imam2 sunnah,ars,-. Bagaimana tidak..?????

Di dalam tulisannya tersebut,terdapat 'berjuta-juta' kebohongan yang di alamatkan kepada tokoh-tokoh besar Sahabat -ridwanullah 'alaihim ajama'iin-,terutama Dua Khalifah yang terawal.Sungguh amat buruk perkataan yang dia tuliskan, Semoga Allah menunjukinya dan membimbingnya ke jalan yang lurus,Allahumma aamiin.

Dibawah ini,adalah sebuah artikel yang ingin aku tujukan kepada penulis tersebut,untuk membantah FITNAH nya kepada Ash-SiddiQ -radhiyallahu 'anhu-.

Wa billahi asta'iin,Fa ilaikum hadzihil maQoolah :
____________

" Akhirnya Fatimah Memaafkan Abubakar "

Fatimah saja mau memaafkan Abubakar tanpa mensyaratkan pengalihan hak tanah fadak pada dirinya, tapi pada hari ini, setelah 14 abad dari peristiwa itu, masih banyak yang mendendam pada Abubakar.

Terkadang orang lain membuat kita begitu marah, sehingga dalam hati kita timbul dendam dan ingin melampiaskan dendam itu secepatnya. Bisa jadi dendam itu begitu merasuk sehingga kita tidak bisa menahan emosi ketika melihat orang tadi.

Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.

Terjemah surat An Nur ayat 22 yang turun berkenaan Abubakar:

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 24:22)

Ayat ini menjelaskan manfaat dari maaf yang kita berikan kepada orang lain, bahkan ketika orang lain melukai hati kita. Manfaat dari memberi maaf bukan hanya bersifat duniawi, yaitu si pemaaf akan dicintai orang banyak, tetapi ada manfaat ukhrawi dari memberi maaf, yaitu ampunan dari Allah, karena amalan akan dibalas dengan pahala yang setimpal.

Tetapi yang dilakukan oleh Abubakar bukan hanya memberi maaf, tetapi jauh lebih dari itu, yaitu tetap memberikan nafkah kepada orang yang pernah melukai hatinya. Lebih dari sekedar memberi maaf. Semua ini hanya mengharapkan ampunan dari Allah.

Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak. Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini. Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.

Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :

Saat Fatimah marah Abubakar menemuinya di lain waktu dan memintakan maaf bagi Umar, lalu Fatimah memaafkannya.

Fatimah dengan besar hati memaafkan Abubakar, yang telah melaksanakan perintah Rasulullah untuk tidak mewariskan harta peninggalannya pada ahli waris. Abubakar juga tidak menyerahkan fadak kepada Fatimah agar mau memaafkannya, tetapi di sini Fatimah juga tidak menuntut penyerahan tanah fadak sebagai syarat untuk mau memaafkan Abubakar dan Umar. Itulah akhlak putri Nabi yang sejak dini dididik untuk mencintai akherat dan membenci dunia yang fana. Inilah salah satu akhlak kenabian diwarisi Fatimah dari sang ayah.

Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?

Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini. Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.

Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin." Fatimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengijinkan ?", Ali berkata: "Ya." Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.

Ibnu Katsir berkata: Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)

Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi. Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini. Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib. Ibnu Katsir - yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam- mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:

Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan ulama lain mengatakan bahwa Sya’bi adalah tsiqah, Al Ijli mengatakan bahwa Sya’bi meriwayatkan hadits dari empat puluh delapan sahabat, dia lebih tua dari Abu Ishaq dua tahun, dan Abu Ishaq lebih tua dua tahun dari Abdul Malik, dia tidak memursalkan hadits kecuali hampir seluruhnya adalah shahih
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59

Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.

Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.

Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.

Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?


__________

( arshavin menukil dari http://hakekat.com/content/view/38/1/ )

Saturday, February 07, 2009

Yang Tersisa Dari Karbala

Kategori : Syiah
__________

Ada cerita menarik dari Karbala yang sengaja dirahasiakan oleh syi'ah, mau tahu? baca selengkapnya...

Ada bagian penting yang sering tertinggal dari sejarah Imam Husein, nampaknya bagian yang penting ini sangat jarang sekali dibahas, sehingga pembaca yang ditakdirkan melewatkan pandangannya pada tulisan kali ini sangat beruntung, karena menemukan pembahasan yang hampir belum pernah dibahas.

Kali ini pembaca akan menikmati uraian tentang anak-anak Imam Husein. Sebagaimana kita ketahui bersama, Imam Husein adalah seorang cucu Nabi, manusia yang dicintai oleh Nabi sebagaimana kita mencintai cucunya. Bahkan konon seorang kakek lebih mencintai cucunya dari ayah si cucu yang merupakan anaknya sendiri. Kecintaan nabi kepada Imam Husein begitu besar,begitu juga kepada kakaknya yaitu Imam Hasan. Kita sebagai orang beriman yang mencintai Nabi wajib mencintai mereka yang dicintai Nabi, termasuk cucundanya yang satu ini, sebagai bukti kecintaan kita kepada Kakeknya. Namun kecintaan kita kepada sang Kakek haruslah lebih besar.

Waktu kemudian berlalu sehingga Muawiyah Ra mangkat dan mengangkat Yazid sebagai khalifah. Imam Husein yang enggan berbaiat kepada Yazid segera melarikan diri ke mekkah. Sesampai di mekkah penduduk kota Kufah mengirimkan surat yang jumlahnya mencapai 12000 pucuk surat, yang isinya meminta sang Imam untuk berangkat ke Kufah, di mana penduduknya sudah bersiap sedia untuk membaiat Imam Husein sebagai khalifah. Di antara isi surat itu adalah memberitahu sang Imam bahwa di Kufah terdapat 100000 pasukan yang siap berdiri di belakangnya untuk melawan Bani Umayyah (Lihat kitab Faji'atu Thaff hal 6, karangan Muhammad Kazhim Al Qazweini)

Membaca surat itu, sang Imam yakin akan kesiapan 100000 penduduk kufah yang telah siap dengan pedang terhunus untuk melawan dan "kezhaliman bani Umayah", Imam Husein akhirnya berangkat menuju kufah bersama keluarganya. Namun kali ini imam tertipu. Sebelum sampai ke kota Kufah rombongan beliau dicegat oleh tentara suruhan Ibnu Ziyad yang dipimpin oleh Umar bin Saad. Ketika rombongan sang Imam dicegat, kita tidak mendengar 100000 pasukan yang konon siap membela Imam Husein itu ikut membela dan berperang melawan musuhnya, kita tidak tahu kemana perginya mereka, begitu juga 12000 orang yang menuliskan surat ketika sang Imam berada di mekkah.

Jika 100000 orang yang mengaku pembela Imam itu ikut berada di padang Karbala, pasti "tentara bani umayah" dapat dengan mudah dikalahkan. Mereka yang memanggil sang Imam begitu saja lari dari tanggungjawab. Mereka tega membiarkan cucu sang Nabi terakhir dijadikan bulan-bulanan, mereka tega darah suci keluarga nabi tumpah akibat larinya mereka dari tanggungjawab. Di dunia mereka bisa lari, namun di akhreat kelak tidak. Sang Imam beserta rombongannya dibiarkan begitu saja menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku sebagai pengikut dan pembelanya. Rupanya inilah karakter mereka yang mengaku-aku dan sok menjadi pembela ahlulbait sejak zaman para imam.

Akhirnya sang Imam pun Syahid menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku menjadi pembelanya. Sang Imam Syahid beserta para keluarganya, di antaranya adalah : saudara sang Imam, putra Ali bin Abi Thalib : Abubakar, Umar, Utsman. Bisa dilihat di kitab Ma'alimul Madrasatain karangan Murtadha Al Askari, jilid 3 hal 127. juga dalam kitab Al Irsyad karangan Muhammad bin Nukman Al Mufid hal. 197, I'lamul Wara karangan Thabrasi hal 112, juga kitab Kasyful Ghummah karangan Al Arbali jilid 1 hal 440. ini adalah sebagian referensi saja, yang lainnya sengaja tidak kami sebutkan karena terlalu banyak. Sementara putra Imam Husein di antaranya : Abubakar bin Husain dan Umar.

Sampai di sini mungkin pembaca belum tersadar akan sebuah fenomena yang menarik. Kita lihat di sini Imam Ali dan Imam Husein menamakan anaknya dengan nama para perampas haknya. Kita ketahui bahwa syiah meyakini bahwa khilafah bagi Ali telah ternashkan dari ketentuan Allah dan RasulNya, sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya nash dianggap merasa lebih pandai dari Nabi. Dalam sejarah diyakini oleh syiah bahwa Abubakar telah merampas hak yang semestinya menjadi milik Ali. Di antara bentuk protes Ali adalah khotbah syaqsyaqiyyah yang tercantum dalam sebuah literatur penting syiah yaitu kitab Nahjul Balaghah. Namun yang aneh di sini adalah Ali yang memberi nama anaknya dengan nama si perampas hak yang sudah tentu bagi syi'ah adalah dibenci Allah.

Begitu juga menamai anaknya dengan nama Umar, sang penakluk yang telah mengubur kerajaan persia untuk selamanya, dan orang yang konon memukul bunda Fatimah hingga keguguran. Sering kita dengar bahwa Umar telah memukul Fatimah, perempuan suci putri Nabi dan istri Ali hingga janin yang dikandungnya gugur, sungguh nekad orang yang berani memukul putri Nabi. Namun dalam sejarah tidak disebutkan pembelaan Ali terhadap istrinya yang dipukul, malah memberi nama anaknya dengan nama orang yang memukul putri Nabi yang sekaligus adalah istrinya. Sementara di sisi lain kita tidak pernah menemukan bahwa Ali memberi nama anaknya dengan nama ayahnya yang "tercinta" yaitu Abu Thalib. Begitu juga para imam ahlulbait tidak pernah tercantum bahwa mereka memberi nama anak mereka dengan nama Abu Thalib.

Apakah para imam ahlulbait lebih mencintai Abubakar dibanding cinta mereka pada Abu Thalib, kakek mereka sendiri? Ternyata fakta berbicara demikian. Mengapa tidak ada seorang imam maksum –terbebas dari kesalahan dan dosa- yang memberi nama anaknya dengan nama Abu Thalib? Jika ada yang mengatakan bahwa para Imam Ahlulbait memberi nama anak mereka dengan nama-nama musuh karena basa basi, apakah para imam begitu penakut sehingga harus berbasa basi dalam hal nama anak?

Ataukah para imam begitu hina mau dipaksa orang lain untuk memberi nama anaknya sendiri?

_________________

(bersambung..)

Siapa Menipu Imam Husein?

Kategori: Syiah
___________


Imam Husein ditipu? Siapa yang bilang? Ternyata anda belum tahu semuanya, Banyak fakta tersembunyi menyelimuti peristiwa Karbala, tapi sepandai-pandai bangkai disembunyikan, lama-lama baunya tercium juga. Apa sebenarnya penyebab tragedi Karbala? Mengapa cucu Nabi yang satu ini hidupnya berakhir tragis?
Banyak pembaca menunggu-nunggu artikel kami yang terlambat muncul, asal pembaca tahu saja, kami pun ikut menunggu-nunggu, menunggu rudal Iran dan Hizbullah menghujani israel yang membantai saudara-saudara kita di Gaza, tapi sampai israel mundur tidak ada satu pun rudal mereka yang jatuh di tanah israel. Karena kami akan menulis artikel khusus mengenai hal ini. Pembaca harus ingat, kita tidak mungkin menyatakan agama Kristen adalah agama yang benar, hanya karena Hugo Chavez dan Morales memutuskan hubungan diplomatik dengan israel.

Alhamdulillah, anak cucu Abubakar dan Umar di Gaza berhasil merontokkan perlawanan israel, tanpa bantuan Iran dan Hizbullah. Asal pembaca tahu saja, Palestina masuk ke wilayah kaum Muslimin pada era Umar bin Khattab, Umar sendiri yang menaklukkan kota Al Quds, yagn juga dikenal dengan nama Baitul Maqdis, tanah suci para Nabi.

Mari kita sambung lagi pembahasan kita......


Imam Husein adalah imam kaum muslimin, cucu Nabi saw. kita tidak perlu menukil dalil yang berisi perintah untuk mencintai keluarga Nabi. Kita mencintai imam Husein karena kita mencintai kakeknya.

Seperti sabda kakeknya, Imam Husein –beserta sang kakak, imam Hasan- adalah pimpinan pemuda penghuni sorga, tentunya kita semua ingin masuk sorga. Namun berita itu mengandung perintah bagi kita untuk mengikuti jalan hidup Imam Husein, karena jalan hidup imam Husein akan membawa kita ke sorga. Isi isyarat itu jika kita terjemahkan ke bahasa kita hari ini kira-kira bunyinya menjadi begini : kalo mau ke sorga, ikuti imam Husein. Inilah inti pesan dari hadits Nabi yang memberitakan jaminan sorga terhadap beberapa person. Asal pembaca tahu saja, yang dijamin sorga bukan hanya imam Husein saja, jaminan sorga juga ada pada ayat Al Qur’an:


Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:100)




Membicarakan kehidupan imam Imam Husein tidak bisa lepas dari peristiwa tragis yang menjadi awal kehidupan akherat baginya, yaitu peristiwa pembantaian yang terjadi di Karbala. Sudah semestinya setiap muslim bersedih atas peristiwa tersebut. Bagaimana cucu Nabi yang dicintainya, dibantai dengan darah dingin tanpa kasih sayang. Namun peristiwa itu menjadi awal bagi kehidupan akherat, menyusul kakeknya Muhammad saw, beserta ayah ibunya. Berbahagia di alam akherat, seperti yang dijanjikan Allah lewat lisan kakeknya.

Membicarakan peristiwa Karbala tak akan lengkap sekiranya kita hanya memfokuskan pada peristiwa pembantaian itu saja, tanpa pernah mengikuti episode sejarah sebelumnya. Hingga penilaian kita tidak akan bisa utuh, karena tidak berdasarkan fakta yang utuh, yang memberi kita gambaran tentang bagaimana peristiwa itu terjadi. Ini menimbulkan tanda tanya, dan kesan yang ditangkap adalah episode ini sengaja untuk tidak terlalu dibahas panjang lebar. Barangkali ini sebabnya mengapa episode sebelum peristiwa Karbala terjadi sangat jarang diulas, mereka yang selalu mengulas dan menganalisa kisah Karbala jarang menyinggung peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang mengakibatkan cucu Nabi ini dibantai.

Satu peristiwa tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya sebagai satu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, tentunya tidak bisa dipisahkan begitu saja, apa yang terjadi saat ini adalah bagaikan memisahkan ayat dan sabab nuzulnya. Memisahkan peristiwa Karbala dengan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi, yang akhirnya ikut menyebabkan terjadinya pembantaian Karbala. Tapi sayang peristiwa itu seolah terkubur di telan bumi, jarang kita mendengar tentang peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan merangkai pembantaian Karbala. Barangkali bisa kita mulai dari pertanyaan penting, yang sayangnya jarang kita dengar. Barangkali akal sehat kita sering tertutupi oleh kesedihan kita yang mendalam, yang barangkali kita buat-buat sendiri, dengan mendengarkan kisah-kisah sedih pembunuhan imam husein, dengan diberi bumbu suara yang menyayat hati, dan lain lagi akhirnya kita lupa bertanya :

Mengapa peristiwa itu terjadi? Peristiwa apa yang menjadi latar belakang peristiwa itu? mengapa imam husein berangkat ke Karbala? Barangkali pertanyaan terakhir ini menjadi titik awal bagi perjalanan kita kali ini untuk menelusuri peristiwa-perstiwa yang melatarbelakangi peristiwa Karbala.

Peristiwa ini diawali ketika Yazid menggantikan Muawiyah yang mangkat dan segera meminta agar Husein berbaiat. Namun husein menolak bersama Abdullah bin Zubair, dan keduanya pergi diam-diam ke kota Mekah. Seperti kita ketahui bahwa imam Husein adalah salah satu figur umat Islam karena hubungan kekerabatannya dengan Nabi, seluruh umat Islam mencintainya, dari dulu hingga hari ini, hanya orang menyimpang dan menyimpan penyakit di hatinya bisa membenci keluarga Nabi. Hingga ketika dia menolak berbaiat maka kabar beritanya tersebar ke segala penjuru, di antara mereka yang mendengar kabar berita mengenai imam husein adalah warga Kufah. Lalu mereka mengirimkan surat-surat kepada imam husein mengajaknya untuk datang ke kufah dan memberontak pada Yazid. Surat-surat itu begitu banyak berdatangan kepada imam, hingga jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Ahmad Rasim Nafis -seorang penulis syiah- menerangkan: "Surat-surat penduduk Kufah kepada Husein a.s. menyatakan: "Kami tidak memiliki Imam, oleh karena itu datanglah, semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas kebenaran." Surat-surat itu mengandung berbagai tanda tangan menghimbau kedatangan untuk menerima bai'at dan memimpin umat untuk gerakan menghadapi para pendurhaka bani Umayah. Begitulah, kian sempurnalah unsur-unsur dasar bagi gerakan Huseiniyah. Di antaranya: . . . Adanya hasrat mayoritas masyarakat yang menuntut reformasi dan mendorong Imam Husein untuk segera memegang tampuk kepemimpinan bagi gerakan tersebut. Juga peristiwa dorongan dorongan di Kufah ini diungkapkan di dalam surat-surat baiat dari penduduk Kufah."'Alaa Khutha Husain: hal. 94.

Muhammad Kadhim al Qazwaini -seorang ulama syiah- menyatakan: " penduduk Irak menulis surat kepada Husein, mengirim utusan, dan memohon agar beliau berangkat ke negeri mereka untuk menerima baiat sebagai khalifah, sehingga terkumpul pada Husein sebanyak 12.000 surat dari penduduk Irak yang semuanya berisikan satu keinginan. Mereka menulis: "Buah sudah ranum, tanaman sudah menghijau, Anda hanya datang untuk menjumpai pasukan anda yang sudah bersiaga. Anda di Kufah memiliki 100.000 (seratus ribu) pedang. Apabila Anda tidak bersedia datang, maka kelak kami akan menuntut Anda di hadapan Allah." Faaji'atu ath Thaff: hal. 6.

Seorang ulama syiah, Abbas Al Qummi menerangkan:
"Melimpah ruahlah surat-surat sehingga terkumpul pada beliau di dalam satu hari sebanyak 600 surat berisikan janji hampa. Dalam pada itu pun beliau menunda-nunda dan tidak menjawab mereka. Sehingga terkumpul pada beliau sebanyak 12.000 surat. Muntaha al Amaal; (1/430).

Ribuan –tepatnya puluhan ribu- surat yang berdatangan berhasil meyakinkan Husein mengenai kesungguhan penduduk Kufah. Husein mengutus Muslim bin Aqil untuk mengecek keadaan kota Kufah dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Dan ternyata benar, sesampainya muslim disana ternyata banyak orang berbaiat pada muslim untuk “membela” imam Husein melawan penguasa zhalim. Mereka menunggu kedatangan sang Imam untuk memimpin mereka.

Ridha Husein Shubh Al Huseini -seorang penulis syi'ah- mengatakan: "Lalu Muslim berangkat dari Mekah pada pertengahan bulan Sya'ban, dan tiba di Kufah selepas lima hari bulan Syawal. Orang-orang Syi'ah berdatangan berbaiat kepadanya, sehingga jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi, jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 40.000 orang Asy Syii'ah wa Asyuura'; hal. 167.
Dari situ ia mulai menerima masyarakat. Dan menyebarluaslah seruan agar berbaiat kepada Husein a.s., sehingga jumlah orang-orang yang "bersumpah setia sampai mati" mencapai 40.000 orang. Ada juga yang mengatakan, kurang dari jumlah tersebut. Gubernur Yazid yang berada di Kufah ketika itu adalah an Nu'man bin Basyir. Sebagaimana disifatkan oleh para sejarawan, gubernur ini seorang muslim yang tidak menyukai perpecahan dan lebih mengutamakan kesejahteraan." Siiratul Aimmati al Itsna'asyar; 2/57-58.

Seorang ulama Syi'i, Abdur Razaq al Musawi al Muqarram menerangkan: "Orang-orang Syi'ah menjumpai Muslim di rumah al Mukhtar dengan sambutan hangat dan menampilkan sikap taat dan patuh. Sikap yang membuat ia lebih gembira dan lebih bersemangat. . . ., selanjutnya orang-orang Syi'ah pun datang saling berbaiat kepadanya sampai tercatat sejumlah 18.000 orang. Bahkan ada yang mengatakan sampai sejumlah 25.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi dinyatakan, orang-orang yang berbaiat kepadanya berjumlah 40.000 orang. Kemudian Muslim menulis surat kepada Husein bersama Abs bin Syabib asy Syakiri, memberitakan kepada beliau tentang kesepakatan penduduk Kufah untuk patuh dan mereka yang menanti-nanti. Di dalamnya ia menyatakan: "Seorang penunjuk jalan tidak akan mendustai keluarganya sendiri. Bahkan sudah terdapat 18.000 orang penduduk Kufah yang berbaiat kepadaku. . ." Maqtal Husain; oleh al Muqarram; hal. 147. Ma'saatu Ihda wa Sittiin; hal. 24.


Abbas Al Qummi juga menerangkan: "Melalui riwayat yang lalu, membuktikan bahwa orang-orang Syi'ah secara diam-diam menjumpai Muslim di rumah Hani, secara rahasia. Lalu mereka pun saling mengikutinya, dan Muslim menekankan kepada tiap-tiap orang yang berbaiat kepadanya agar tutup mulut dan merahasiakan hal itu, sampai jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 25.000 laki-laki. Sementara Ibnu Ziyad masih belum mengetahui posisinya . . Muntaha al Amaal (1/437).

Sampai di sini barangkali anda membayangkan bagaimana puluhan ribu orang bersiap siaga untuk menyambut kedatangan, bagaimana mereka mempersiapkan persenjataan untuk “melawan penguasa zhalim” di bawah pimpinan sang Imam. Tapi jangan berhenti membaca di sini, ternyata ending kisah tak seindah yang anda bayangkan.

Melihat sambutan penduduk Kufah yang begitu menggembirakan, Muslim mengirim surat pada Husein untuk segera datang. Tapi apa yang terjadi, Yazid mengutus Ubaidilah bin ziyad, untuk “menertibkan” kota kufah, hingga akhirnya menangkap Muslim bin Aqil dan beberapa tokoh yang mengajak untuk berbaiat pada imam husein. Ternyata satu orang saja dapat menertibkan ribuan orang di Kufah yang telah berbaiat pada Imam Husein untuk melawan orang-orang “zhalim”. Nyali mereka menjadi ciut dan melupakan baiat mereka pada Imam Husein

Ulama Syi'i Muhammad Kadhim al Qazwaini menerangkan: "Lalu Ibnu Ziyad masuk Kufah. Ia mengirim utusan kepada para ulama setempat dan pimpinan pimpinan kabilah, mengancam mereka dengan datangnya pasukan dari Syam, dan memikat mereka, sehingga mereka pun berpisah-pisah meninggalkan Muslim sedikit demi sedikit sehingga tingggal Muslim seorang diri. Faaji'atu ath Thaffa; hal. 7. Pernyataan serupa juga tersebut di dalam "Tadhallum Az Zahra"; hal. 149.

Puluhan ribu orang yang membaiat imam Husein, baik melalui surat maupun yang berbaiat langsung akhirnya “keok” hanya dengan digertak oleh Ibnu Ziyad. Keinginan mereka untuk menolong imam Husein seketika sirna karena mendengar gertakan Ibnu Ziyad. Mereka lebih suka duduk di rumah beserta anak istri ketimbang berperang bersama imam Husein melawan tentara Yazid. Rupanya itulah kualitas mental “pembela ahlul bait Nabi”.
Ibnu Ziyad mengutus tentara untuk mencegat imam husein, hingga terjadilah proses negosiasi.

Ayatullah Muhammad Taqiy Ali Bahri al Ulum -seorang ulama syiah- menerangkan: "Husein keluar seraya mengenakan kain, selendang, sepasang sendal, dan bersandar pada penghulu pedang beliau. Lalu beliau menghadapi kelompok tersebut, memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata: "Dengan merendahkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga kepada kalian. Sebenarnya saya tidak datang kepada kalian sehingga datang kepada saya surat-surat kalian. Dan dinyatakan oleh utusan utusan kalian: "Datanglah kepada kami karena kami tidak memiliki imam. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas petunjuk." Jika kalian memang bersikap seperti itu, maka sekarang kami datang kepada kalian, maka penuhilah janji dan ikrar kalian dengan si kap yang baik. Tetapi sekiranya kalian tidak menyukai kehadiranku, maka saya pun akan meninggalkan kalian kembali ke tempat di mana saya berangkat." Mereka pun terdiam semuanya. Lalu al Hajjaj bin Masruq al Ju'fi menyerukan salat Dhuhur. Kemudian Husein berkata kepada Hurr: "Apakah Anda hendak berlaku sebagai imam salat sahabat-sahabat Anda?" Ia menjawab: "Tidak: "Tetapi kami semuanya akan bermakmum kepada Anda." Kemudian Husein pun berlaku sebagai imam salat atas mereka. Seusai salat, beliau menghadap mereka, memuji dan menyanjung Allah, dan bersholawat kepada Nabi Muhammad, beliau berkata: "Wahai hadirin, sekiranya kalian bertakwa kepada Allah dan memahami hak-hak ahliNya, niscaya itu lebih diridhai Allah. Kami adalah Ahlul Bayt Muhammad s.a.w., lebih layak untuk menduduki jabatan ini dibanding mereka yang merasa memiliki apa-apa yang tiada pada mereka. Dan mereka orang-orang yang suka melakukan kejahatan dan permusuhan. Tetapi sekiranya kalian merasa enggan dan tidak menyukai kami, tidak memahami hak-hak kami, dan sekarang kalian berpendapat (dengan pendapat baru) yang berbeda dengan pernyataan pernyataan surat-surat kalian. Kami akan pergi meninggalkan kalian."

Hurr berkata: "Saya tidak mengerti tentang surat-surat yang Anda sebutkan itu?" Lalu Husein memerintahkan kepada Uqbah bin Sam'an (agar mengeluarkan surat-surat tersebut). Ia pun mengeluarkan dua kantung penuh dengan surat-surat."


Hurr berkata: "Saya bukan dari golongan mereka. Bahkan saya diperintah untuk tidak berpisah dari Anda apabila bisa menjumpai Anda sampai saya membawa Anda ke Kufah menjumpai Ibnu Ziyad." Husein menjawab: "Maut lebih dekat pada diri Anda daripada melaksanakan hal itu."
Lalu beliau memerintahkan sahabat-sahabat beliau agar menunggangi kendaraan, para wanita pun sudah menunggangi kendaraan. Tetapi tiba-tiba Hurr melarang mereka pergi menuju ke Madinah." Husein berkata kepada Hurr: "Celakalah ibumu!, apakah yang kalian harap dari kami?"
Hurr berkata: "Sekiranya yang mengucapkan kata-kata itu orang Arab lain selain Anda, dan ia dalam posisi seperti Anda sekarang, niscaya tidak akan kubiarkan ia menyebut celaka terhadap ibunya, betapa pun alasannya. Demi Allah, saa tidak memiliki kemampuan untuk menyebut ibu Anda, kecuali dengan ucapan yang baik dan kami hormati. Tetapi sekarang silahkan ambil jalan tengah yang mana tidak memasukkan Anda ke Kufah dan bukan ke arah Madinah, sehingga saya dapat menulis surat kepada Ibnu Ziyad. Semoga allah berkenan mengaruniakan kesejahteraan kepada kita, dan saya pun tidak mendapat musibah lantaran persoalan Anda ini." Waaqi'atu ath Thaff; oleh Bahru al 'Ulum; hal. 191-192.

Imam Husein terhenyak, ternyata dia telah ditipu mentah-mentah oleh kaum syi’ah yang berbaiat kepadanya.

Abbas Al Qummi menerangkan : Ibnul Hurr mengatakan: "Wahai putra Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam wa aalih, sekiranya di Kufah terdapat Syi'ah (sejati) dan para pembela yang akan berperang bersama Anda, niscaya saya orang yang paling mengetahuinya. Tetapi saya mengetahui bahwa Syi'ah Anda di Kufah itu telah meninggalkan rumah-rumah mereka masing-masing karena takut kepada pedang-pedang bani Umayah." Husein tidak menjawab ucapan itu, dan beliau a.s. berlalu. . . "Abbas Al Qummi menerangkan peristiwa tersebut di dalam Muntaha al Amaal (1/466). Juga di catatan pinggir (haamisy); hal. 177 dalam buku an Nafsu al Mahmuum. Sedang lafalnya pada kitab rujukan kedua.

Abbas Al Qummi menerangkan: "Lebih lanjut perhatikanlah (maksudnya; Husein), sehingga ketika tiba waktu sahur, beliau berkata kepada bujang-bujang dan pelayan pelayan beliau: "Perbanyaklah air, sehingga kalian memiliki persediaan minum. Dan perbanyak lagi, kemudian berangkatlah. Lalu beliau melakukan perjalanan. Sehingga ketika beliau sampai di tempat sampah, datang kepada beliau berita tentang Abdullah bin Yaqthar. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat beliau. Mengeluarkan sepucuk surat di hadapan hadirin, dan beliau membacakannya di hadapan mereka. Ternyata tertulis di dalamnya sebagai berikut: "Bismillahirrahmanirrahim. Lebih lanjut, telah datang berita buruk kepada kami, Muslim bin Aqiil dibunuh, Hani bin Urwah, dan juga Abdullah bin Yaqthar. Kita telah ditinggalkan oleh Syi'ah kita sendiri. Barangsiapa di antara kalian hendak pulang, silahkan pulang tanpa dipersalahkan dan tanpa dibebani sangsi."


Kemudian para hadirin pun bercerai-berai meninggalkan beliau, yaitu dari kalangan orang-orang yang mengikuti beliau demi memperoleh harta rampasan dan kehormatan. Sehingga beliau hanya tinggal bersama Ahlul Bayt beliau dan para sahabat-sahabat beliau yang tetap memilih tinggal dan patuh bersama beliau atas dasar yakin dan iman." Muntaha al Amaal (1/462). Majlisi di dalam "Bihaarul Anwar" (44/374). Muhsin Al Amin dalam "Lawaaij al AsyHaan"; hal. 67. Abdul Husein al Musawi dalam "al Majaalis al Faakhirah"; hal. 85. Penulis Abdul Hadi ash Shalih di dalam "Khoirul Ashhaab"; hal. 37, hal. 107

Ahmad Rasim an Nafis mengutipkan kepada kita beberapa pantun Husein r.a yang dikutip dari "al Ihtijaaj"; (2/24) dan peringatan beliau kepada Syi'ah (para pengikut) beliau yang telah mengundang beliau (dengan janji) hendak membelanya, tetapi kemudian meninggalkannya. Kata beliau: "Ketika itu mereka secara terus menerus merisaukan Abu Abdillah Husein, agar beliau tidak dapat menyelesaikan ibadah haji beliau. Lalu beliau berkata kepada mereka dengan murka: "Mengapa kalian tidak bersedia diam terhadapku dan mendengar tutur kataku? Sebenarnya saya mengajak kalian ke jalan lurus, sehingga orang-orang yang bersedia mengikutiku akan menjadi orang-orang yang beroleh bimbingan, sedang yang durhaka kepadaku akan menjadi orang-orang yang dibinasakan. Kalian semua telah berbuat durhaka terhadap perintahku, tidak mendengar ucapanku. Kiranya barang-barang yang kalian terima berlimpah barang haram, perut-perut kalian pun dipenuhi oleh barang haram, sehingga Allah menutup hati kalian. Celakalah kalian, mengapa kalian tiada bersedia tutup mulut? Mengapa tidak bersedia mendengar?" . . . , lalu para hadirin pun diam. Selanjutnya beliau a.s. berkata lagi: "Celakalah kalian wahai jemaah. Kalian campakkan apa-apa yang telah kalian serukan kepada kami. Kami dapati kalian dalam keadaan lemah, lalu kami pun menyeru kalian dengan siap siaga. Lalu kalian hunuskan pedang ke arah leher-leher kami. Kalian sulutkan bara api fitnah ke atas kami, sehingga menjadi peluang bagi musuh-musuh kami dan musuh kalian sendiri. Lalu kalian pun menjadi perintang orang-orang yang hendak melindungi kalian, dan pula menjadi tangan bagi musuh-musuh kalian. Tanpa adanya keadilan berlaku di antara kalian. Tak ada pula harapan kalian terhadap mereka kecuali harta duniawi haram yang akan kalian peroleh, kehidupan seorang pengecutlah yang kalian dambakan ....., alangkah buruk moral kalian. Sebenarnya kalianlah para pendurhaka di antara umat ini, kelompok paling jahat, pencampak al Kitab (Al Quran), sarana bisik-bisikan setan, golongan para pendosa, pemanipulasi Al Quran (Al Quran), pemadam sunah-sunah, dan pembunuh putra-putri para nabi, 'Ala Khutha Husain; hal. 130-131.

Marilah kita perhatikan bagaimana Imam Husein r.a. menyebutkan sifat-sifat kaum Syi'ah yang ingin membela keluarga Nabi:
"Pendapatan kalian dipenuhi barang-barang haram."
"Perut-perut kalian dipenuhi barang-barang haram."
"Allah menutup hati kalian."

Imam husein ditipu mentah-mentah sebelum dibantai secara tragis. Siapa yang menipunya? Siapa yang memanggil sang Imam lalu meninggalkannya? Mari kita simak lagi pengakuan Imam Husein, yang lebih tahu tentang kondisi syiahnya dibanding kita semua:

Kita telah ditinggalkan oleh Syi'ah kita sendiri.

Peristiwa Karbala terulang lagi di Gaza. Iran dan Hizbullah selalu mengancam akan membumihanguskan israel, bahkan dengan gagah perkasa presiden Ahmadi Nejad mengancam untuk menghapus israel dari peta dunia. Begitu juga Hasan Nasrullah selalu mengancam Israel dengan khotbahnya yang berapi-api.


Kaum muslimin di dunia banyak yang silau dengan khotbah yang berapi-api. Kita bisa memaklumi kaum muslimin yang awam dan merindukan figur pejuang yang mengembalikan kemuliaan Islam. Tapi sepertinya kaum muslimin salah sangka.


Mestinya Hizbullah langsung menghujani Israel dengan rudal-rudal Iran yang canggih dan menjangkau sasaran jarak jauh. Mestinya Iran menggunakan rudal-rudal canggihnya ke arah tel aviv. Tapi ternyata hanya mimpi yang kita dapat.

Iran yang mengancam akan menghentikan ekspor minyak, mengancam menutup selat Hormuz ketika Amerika akan menyerangnya, ternyata diam saja ketika Gaza diserang. Rupanya Iran hanya menggunakan propaganda untuk sekedar meramaikan suasana dan mencari dukungan dari kaum muslim dunia.

Iran Bukan sekedar diam saja, malah melarang orang pergi berjihad ke Gaza. Ali Khamene’i, yang diyakini oleh syiah sebagai “waliy Amr” kaum muslimin, ternyata melarang orang untuk berjihad ke Gaza. Asal pembaca tahu saja, Khamenei ini diyakini oleh syiah menjadi wakil dari imam Mahdi yang bersembunyi. Jika anda ingin melihat sumber pernyataan saya ini, silahkan cari keyword : iran bans volunteers di google. Atau jika anda bisa berbahasa arab silahkan ketik keyword ini di google :

يمنع المتطوعين من القتال بغزة

Mestinya Iran mengirimkan pasukan daratnya untuk menyerang israel dari daratan Lebanon selatan yang menjadi “daerah kekuasaan” Hizbullah. Karena israel pasti takut pada Iran.

Tapi rupanya inilah sifat dasar syiah sejak jaman imam Husein, kita harus percaya pada imam Husein yang "maksum" [menurut syiah].

__________________

(arshavin menukil dari http://hakekat.com/content/view/44/1/ )

Geoglobe

Geocounter

About Me

My photo
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما العلم بالتعلم ( حديث حسن، انظر : صحيح الجميع ، للأ لبانى ) " Sesungguhnya 'ilmu itu,-hanya bisa diperoleh- dengan BELAJAR "