Saturday, October 25, 2008

BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH

Kategori: Fiqh
***

FATWA-FATWA SEPUTAR BERHARI RAYA DENGAN PEMERINTAH

1.Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam ditanya tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal yang sebenarnya 10 (Dzul Hijjah)?

Syaikhul Islam menjawab: Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul Hijjah), jika memang ru’yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunan (disebutkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda:

Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih.1
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya).

Dari Aisyah radhiallahu'anha , beliau berkata: Rasulullah telah bersabda,”(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua orang menyembelih”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi).

Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan para imam kaum Muslimin.2

Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al Bani rahimahullah berkata: Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah-belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain -baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab. Wallahul musta`an”.3

Menurut penulis, jika dalam permasalahan puasa Syaikh menyerukan untuk berpuasa dengan pemerintah, maka tentu berhari raya lebih dianjurkan lagi.

2.Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami -para mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda,”Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, Pen) dan berbukalah kalian dengan melihatnya...” sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi, kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami dan berapa hari kami harus berpuasa?

Beliau (Syaikh) menjawab: Jika Anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara Anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu berhari rayalah bersama mereka, Pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah:

“Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian berbuka”.

Akan tetapi, jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu waliyyut taufiq.4

Beliau juga ditanya: Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutnya negara tersebut mengumumkannya, akan tetapi di negera yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi? Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, Red.), ketika mereka mengumumkan masuknya bulan Ramadhan? Begitu juga dengan permasalahan masuknya bulan Syawwal, yaitu hari `Id. Bagaimana hukumnya, jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan dari kami dan dari kaum Muslimin?

Beliau (Syaikh) menjawab: Setiap Muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi : “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. Wa billahit taufiq.5

3.Fatwa Syaikh Shalih Al Fawzan hafizhahullah.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah ditanya: Jika telah pasti masuknya bulan Ramadhan di suatu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa dengan kerajaan? Bagaimana permasalahan ini, jika terjadi perbedaan pada dua negara?

Beliau Syaikh menjawab: Setiap Muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum Muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum Muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, karena mathla` berbeda-beda. Jika misalkan sebagian Muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah hilal -maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab Saudi.6

4.Fatwa Lajnah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta` (Komite Fatwa Arab Saudi).

Lajnah Da-imah lil Buhuts Ilmiah wal-Ifta’ ditanya: Bagaimana pendapat Islam tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha? Perlu diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa, yaitu hari raya Idul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari, (atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin?

Dijawab: Para ulama sepakat bahwa mathla` hilal berbeda-beda. Dan hal itu diketahui secara panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat. (Pertama), diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya mathla` berlaku dalam menentukan permulaan puasa dan penghabisannya. (Kedua), diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil dengan Kitab, Sunnah serta Qias. Dankadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta`ala: Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah. (QS Al Baqarah:185). FirmanNya: Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah: “Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia. (QS Al Baqarah:189). Dan sabda Nabi: Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya. (Hadits).

Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dan dalam mengambil istidlal dengannya.

Kesimpulannya, permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalam wilayah Ijtihad. Oleh karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Dan tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam ketiga puluh, untuk mengambil hilal yang bukan mathla` mereka, jika kiranya mereka benar-benar telah melihatnya. Jika sesama mereka masih berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya -jika seandainya pemerintahan mereka Muslim. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak Muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yang ada di negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat Id. Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan para sahabatnya. (Tertanda, Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani`).7


PEMERINTAH DAN PENENTUAN HARI RAYA

Dalam menentukan hari raya, Pemerintah tidak lepas dari dua hal. Yaitu, keputusannya sesuai dengan syari’at, dan keputusannya yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, dengan penjelasanya sebagai berikut:

Pertama.

Jika keputusan dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari’at, yaitu menggunakan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal tertutup awan, maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk keluar dan membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyu amril mukminin.

Permasalahan: Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah dia boleh berbuka dan berhari raya sendiri?

Jawab: Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat yang masyhur.
- Dia tidak dibenarkan berbuka. Tetapi, hendaklah dia berbuka dan berpuasa dengan kaum Muslimin. Demikian ini adalah madzhab jumhur Ulama (Hanafiyah8, Malikiyah9 dan Hanabilah10 ), dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai dengan sabda Nabi “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.
Dalam mensyarah hadits di atas, Tirmidzi berkata: “Sebagian Ahli Ilmu menafsirkan hadits ini; mereka mengatakan, berpuasa dan berbuka bersama jama’ah11”.
- Dia dibenarkan untuk berbuka secara sembunyi. Demikian ini madzhab Syafi`iyyah12, sebagian Hanafiyah dan Hanabilah.
Dr. Ahmad Muwafi berkata: Sebenarnya pendapat Syafi’iyyah dalam bab ini cukup kuat; karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru’yah, dan dia telah yakin melihat hilal Syawwal. Dan ini cukup baginya untuk tidak berpuasa. Bagaimana dia dituntut untuk berpuasa, padahal dia yakin bahwa ia telah keluar dari puasa wajib? Ini tidak bertentangan dengan hadits “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. Karena tujuan akhir dari hadits tersebut, ialah menganjurkan kepada kaum Muslimin yang telah melihat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya. Kalau tidak, dia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakkan apa yang dilakukan oleh jama’ah, atau dia dianjurkan berpuasa, untuk mensepakati jama’ah kaum Muslimin, dan berbuka ketika kalian semua berbuka. Karena tidak mungkin dia berbuka sebelum yang lain dan berhari raya sendirian, bukan berarti wajib baginya puasa. Wallahu Ta`ala a`lam.13

Kedua.

Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya, misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, maka –wallahu a`lam- tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum Muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah; demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai dengan sabda Rasulullah: “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.

Ash Shan`ani, ketika mensyarah hadits ini berkata: “Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia, karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka”.14

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar radhiallahu'anhum jami'an berkata: “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Id”.15

Asy Syaukani menyebutkan, diperbolehkan shalat `Id pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya.16

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan: Jika dikatakan “bisa saja pemerintah yang diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab yang lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.

Maka dikatakan (kepada mereka): Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun, Pen), tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih, bahwa Nabi bersabda tentang para penguasa: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”. Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum Muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan.17 Wallahu a`lam.

(Majalah As-Sunnah edisi 07 Tahun VIII/1425H/2004M)

1) HR Tirimizi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun…), Sunan dengan Tuhfah (3/382, 383).
2) Majmu` Fatawa (25/202).
3) Tamamul Minnah, hlm. 398).
4) Fatawa Ramadhan (1/145).
5) Fatawa Ramadhan (1/112).
6) Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan (3/124).
7) Fatawa Ramadhan (1/117).
8) Lihat Fat-hul Qadir bersama Hidayah (2/325).
9) Lihat Al Qawanin, Ibnu Jizzy (102).
10) Lihat Al Inshaf, Al Mardawi (3/278).
11) Lihat Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah (3/383).
12) Lihat Majmu` Syarah Muhazzab, Nawawi (6/286).
13) Taisir Al Fiqh Al Jami` Lil Ikhtiaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah (1/449-450).
14) Subulus Salam (2/134).
15) Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Lil `Id…) no. 1.157.
16) Lihat Nailul Authar (2/295).
17) Majmu` Fatawa (25/206).

***
(arshavin08 menukilnya dari http://bukhari.or.id/content/view/163/9/)

No comments:

Geoglobe

Geocounter

About Me

My photo
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما العلم بالتعلم ( حديث حسن، انظر : صحيح الجميع ، للأ لبانى ) " Sesungguhnya 'ilmu itu,-hanya bisa diperoleh- dengan BELAJAR "