Saturday, October 25, 2008

Menyatukan Hari Raya

Kategori: Fiqh
***

Perselisihan dalam menentukan hari raya, baik hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha menjadi sebuah fenomena yang sering kali terjadi di kalangan kaum Muslimin. Seakan-akan makna “al-`id” yang seharusnya sesuatu yang berulang dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, berubah menjadi sebuah permasalahan yang berulang-ulang tiap tahunnya dengan perselisihan dan pertengkaran.

Sebagai seorang muslim, tidak ada jalan lain kecuali beramal di atas bashirah dan ilmu yang akan menerangi jalan untuknya menuju keridhaan Allah. Maka dalam pembahasan masalah ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya perselisihan, dan kiat yang tepat dalam bersikap, sehingga kita terlepas dari jeratan pertikaian dan termasuk orang yang berpegang teguh dengan tali Allah. Semoga Allah memberi taufiq kebenaran kepada penulis, sehingga dijauhkan dari kesalahan dalam penulisan dan pemahaman.

MENGAPA BERSELISIH DALAM MENENTUKAN HARI RAYA?

Perselisihan ini, tidak hanya terjadi di kalangan para ulama sebelumnya dalam permasalahan ijtihad, akan tetapi diperparah lagi dengan masuknya orang-orang yang tidak mengetahui agama (munafik), atau orang yang cenderung mengikuti akalnya sendiri,1 masuk ke dalam kancah permasalahan ini sehingga semakin memperkeruh masalah.

Perselisihan yang terjadi dalam menentukan ke dua hari raya ini, dapat kita bagi dalam beberapa permasalahan.
Pertama. Adanya silang pendapat dalam cara menentukan hari raya, dengan hisab ataukah ru’yah hilal.
Kedua. Adanya perbedaan pendapat yang menyangkut mathla` hilal pada setiap negeri atau tidak. Dalam arti, jika misalnya terlihat hilal di Arab Saudi, wajibkah semua umat Islam untuk berpuasa atau berbuka? Ataukah setiap negeri berhukum dengan mathla`nya sendiri-sendiri?
Ketiga. Mensikapi keputusan pemerintah dalam menentukan jatuhnya hari raya. Sebagian yang tidak sependapat dengan pemerintah mengambil tindakan yang dianggapnya benar. Dan sebagian lagi, dalam melihat ru’yah hilal, berkiblat kepada negara lain, dan begitu seterusnya sehingga terjadilah kekacauan dan perselisihan di mana-mana.

RU’YAH ATAU HISAB?

Ada dua catatan penting menanggapi permasalahan di atas.
Pertama. Menggunakan hisab untuk membuat sebuah hukum dalam syari’at dan meninggalkan ru’yah hilal, ditakutkan terkena ancaman dari ayat Allah, yaitu orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kebenaran, dan juga jatuh ke dalam takwil Rasulullah bahwa umat Islam akan mengikuti perjalanan (tasyabbuh) kepada umat terdahulu, baik secara disengaja ataupun tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Telah sampai kepada saya, bahwa syari’at sebelum kita juga mengaitkan hukum dengan hilal. Kemudian terjadi perubahan karena ulah tangan-tangan jahil dari para pengikut syari’at itu sendiri, sebagaimana telah diperbuat oleh Yahudi dalam bertemunya dua bujur, serta menjadikan sebagian hari raya mereka dengan menggunakan tahun Masehi. Begitu juga yang dilakukan kaum Nashrani dalam berpuasa, dengan memperhatikan bertemunya dua bujur di awal tahun Masehi, serta menjadikan semua hari raya mereka dengan menggunakan penanggalan tahun Masehi, sesuai dengan kejadian yang dialami Al Masih. Begitu juga dengan kaum Shabi`ah, Majusi dan dari kalangan kaum musyrikin lainnya dalam penggunaan ishthilah (penanggalan). Adapun yang dibawa oleh syari’at kita merupakan hal yang paling baik, apik, jelas, tepat dan jauh dari pertentangan”.2
Kedua. Pembahasan penentuan hari raya dengan menggunakan ru’yah sudah bersifat final, setelah adanya Ijma` selama tiga abad secara berturut-turut. Sehingga tidak ada jalan untuk berijtihad setelah terjadinya Ijma`, sebagaimana yang telah diterangkan dalam ushul syari’ah.

Syaikhul Islam Rahimahullah berkata: “Sebagaimana telah kita ketahui dari agama Islam, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan sesuatu dengan cara melihat hilal, seperti: puasa, haji, iddah, ila` atau lainnya, yang menyangkut permasalahan hukum dengan hilal, tidaklah dibenarkan. Nash-nash dari Nabi tentang hal ini sangatlah banyak. Dan kaum muslimin telah Ijma` (sepakat) dengan permasalahan tersebut. Sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan lama ataupun perselisihan baru, kecuali setelah abad ketiga, yakni oleh sebagian mutaakhirin dari kalangan ahli fiqih gadungan yang belum matang.3 Yaitu dengan pernyataan “jika hilal terhalangi awan, maka ahli hisab diperbolehkan menggunakan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab (tersebut) menunjukkan ru’yah, maka dia boleh berpuasa. Jika tidak menunjukkan hilal, maka tidak boleh”. Pendapat ini telah didahului oleh Ijma` yang mengingkarinya, meskipun hanya berlaku untuk cuaca mendung dan dikhususkan untuk orang yang mengetahui ilmu hisab itu sendiri. Akan tetapi, mengikuti hisab ketika cuaca cerah, atau menggantungkan hukum untuk kalangan umum dengan hisab, maka tidak seorang muslimpun pernah mengatakannya.”4

Ketika Lajnah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta`, Arab Saudi, ditanya tentang hal serupa, mereka menjawab: “Sesungguhnya Allah mengetahui yang telah dan yang akan terjadi tentang perkembangan ilmu falak dan ilmu pengetahuan lainnya. Sekalipun begitu, Allah berfirman,’Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpuasa’ (QS Al Baqarah:185). Dan RasulNya menerangkan lebih jelas dengan sabda Beliau :

Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya. (Hadits)5. Maka, Beliau mengaitkan mulainya puasa bulan Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan, yaitu dengan melihat hilal dan tidak mengkaitkannya dengan hisab bintang-bintang. Sekalipun dia mengetahui bahwa ilmu falak akan berkembang dengan hisab bintang dan menentukan perjalanannya. Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada syari’at Allah melalui lisan NabiNya, dengan menggunakan ru’yah hilal dalam berpuasa dan berhari raya. Dan ini merupakan Ijma` dari ahli ilmu. Barangsiapa yang menyelisihinya dan menggunakan hisab bintang-bintang, maka pendapatnya aneh dan tidak dapat digunakan”. (Tertanda, Ketua: Abdul Aziz, Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu`ud).6

(Majalah As-Sunnah edisi 07 Tahun VIII/1425H/2004M)

1) Lihat Majmu` Fatawa (25/128-130).
2) Majmu` Fatawa (25/135).
3)Sebagian menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Syuraih, Mutharif bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah. Nisbat kepada kepada Ibnu Syuraih dan Abdullah ini tidak benar. Adapun Ibnu Qutaibah, pendapatnya dalam masalah ini tidak perlu ditanggapi. Lihat Nailul Authar (4/502), Dar Ash Shumai`i; Tharhut Tatsrib, Al Iraqi (2/2-112).
4) Majmu` Fatawa (25/132-133).
5) HR Muslim, Kitab Shiyam, Bab Wujub Shaumi Ramadhan Li Ru’yatil Hilal, Syarah Muslim (3/134,135).
6) Fatawa Ramadhan (1/118-119).
***
(arshavin08 menukil dari http://bukhari.or.id/content/view/162/9/, ditulis oleh: Armen Halim Naro )

No comments:

Geoglobe

Geocounter

About Me

My photo
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما العلم بالتعلم ( حديث حسن، انظر : صحيح الجميع ، للأ لبانى ) " Sesungguhnya 'ilmu itu,-hanya bisa diperoleh- dengan BELAJAR "